Kamis, 22 April 2010

Prolog

[Alya]

Mataku rasanya perih untuk dibuka. Lampu-lampu putih dan panjang itu terlalu menyilaukan. Tunggu, di mana aku?

Aku terbaring, namun bergerak cepat. Suster yang ada di sampingku terlihat berlari dengan wajah cemas. Ada beberapa orang lagi yang mengelilingiku, tapi aku tak mengenalinya. Mungkin dokter, perawat lain, ah, entahlah.

Mataku rasanya berat untuk tetap terbuka. Aku menahan rasa sakit yang menggerogoti kaki kananku. Perih. Sangat perih. Dan akhirnya, aku mati rasa.





[Bhara]

Saya melihatnya keluar dari supermarket dengan langkah cepat. Dia menangis, mungkin. Tapi, tadi saya lihat matanya berkaca-kaca sebelum keluar dari tempat ini—tempat orang-orang berbelanja dengan nyaman dan banyak pilihan.

Dan saya masih terdiam mematung di gang yang raknya dipenuhi dengan mie instan yang bervariasi. Saya merasa bodoh. Sangat bodoh. Hampir tujuh tahun saya mengaguminya. Tapi... apa hasilnya? Nihil.

Tak terasa, sebutir air mata mengalir dari mata kiri saya.





[Raiya]


Gue gak sudi ngatain dia buaya darat. Kata guru biologi gue waktu SMA, buaya justru binatang paling setia sama pasangannya. Terus gue harus sebut dia apa? Uler bermuka dua? Di depan gue dia sok-sok-an setia. Di belakang gue dia malah tidur sama cowok laen. Tai.

Gue masih bisa denger dia manggil-manggil nama gue dari kejauhan. Gue gak peduli—gue pura-pura gak denger.

Pintu lift apartemen kebuka—kosong. Gue masuk, terus mencet tombol ‘1’. Ah, kenapa sama mata gue? Kok tiba-tiba perih, sih?

Gue pake kacamata Dior gue. Ah, this is better.

Eh, ini gue gak nangis, ya. Ini keringet.